Jumat, 22 Oktober 2010

fredericka m hendiana widowati: jogjakarta,2009

fredericka m hendiana widowati: jogjakarta,2009

Senin..


 .…..Orang bilang cinta itu buta….
…....Orang bilang jatuh cinta itu sakit…

Di depan meja ini,di kafe ini,tepat 2 tahun silam kita bertemu dan saling mengagumi dengan apa yang di sajikan kafe itu. Menu andalan tiap hari senin. Secangkir moccacino panas. Entah mengapa rasanya membuat moodku menjadi baik dan menciptakan kenyamanan yang tak ku dapatkan dari aneka keduniawian lainnya. Bukan hp I phone, note book Mac Apple, I pod shuffle,emas putih,adidas keluaran 2 tahun sekali,tas tenis Reebok yang katanya cuma di miliki Andre Agassi dan Anna Kournikova..dan entah benda-benda lainnya yang tak bisa ku bandingkan dengan 30 menit menikmati secangkir moccacino panas tiap senin bersamamu.
Sebuah tawa dari seseorang sepertimu. Yang tidak punya jam tangan,kemeja yang sangat kusam karena kau bilang kau mencucinya tiap hari. Jaket kumal yang kau suka baunya. Dan sandal gunung yang sangat kau banggakan karna menemanimu melanglang buana. Dan satu lagi tatapan hangatmu. Entah mengapa aku menyukai semua itu. Seakan dunia senin adalah milikku bersamamu meski aku tak tau apakah kau juga merasa begitu. Aku tak peduli. Karena aku memang tak mau. Memikirkan hal itu hanya membuat kerutan di wajahku bertambah,aku hanya ingin menghujani seninku dengan bau kopi moccacino panas itu. Dan membungkus arti ‘I hate Monday’ dengan sejuta tatapanmu dan senyummu padaku. Sungguh aku tak menyesali kehidupanku sama sekali!
Mungkin ketololanku karna aku memang buta. Orang bilang perasaan seringkali membutakan logika. Dan sering pula perasaan membuat hati menjadi luka.
Mungkin memang benar.
Tapi sekali lagi aku tak peduli. Karena aku memang sungguh tak mau,untuk peduli.
Hanya secangkir moccacino panas,senyumanmu,dan tatapanmu. Cuma 3 hal itu yang akan menjungkir balikkan nightmareku di hari senin.
Aku selalu menikmati tiap tegukanku bersama moccacino panasku. Seringkali aku berdoa andai 30 menit terhenti,dan semua menjadi mati. Hanya ada kau dan aku. Kita menikmati secangkir kopi favorit itu sepuasnya.
Aku memang telah buta.
Tapi aku bisa melihat kesempurnaan saat kita bersama. Aku tidak buta.
Dan jatuh.
Yah..yah..orang bilang bila jatuh akan sakit.
Tapi aku tak peduli. Bagiku jatuh ku kali ini adalah jatuh yang harus di nikmati. Aku memang tak mau peduli. Sangat tidak mau.
Dan lagi-lagi orang bilang,untuk menyuruhku berhati-hati bila kau buta,karna kau akan jatuh berkali-kali dan kau butuh alat dan pembantu untuk menuntun langkahmu. Dan itu memang benar.
Kau,dan moccacino panas itu telah menghempaskan aku pada satu titik sepi yang meringkus keramaian hatiku menjadi bisu.
Aku bisu.
Aku tuli.
Aku buta.
Dan kali ini tepat 2 tahun,aku menikmati rasa moccacino itu menjadi hambar dan aneh. Dan menu senin itu tak beda dengan menambah mimpi burukku pada hari senin.
Ternyata memang aku buta. Bukan moccacino. Tapi kamu.
Dan ternyata aku tuli. Bukan omongan orang,tapi cuma omonganmu.
Dan ternyata aku bisu,bukan balas berkata,tapi cuma mendengarkanmu.
Karna memang cuma itu yang aku tau,sudah cukup bagiku.
Senin,2 tahun yang lalu. Aku sendiri,di depan meja no satu dekat pintu. Dengan secangkir kopi panas moccacino,dengan sebuah pesan kecil darimu yang kau kirimkan via pos ke rumahku,
‘seninmu akan kembali di temani secangkir moccacino panas,tapi tanpaku. Karna aku harus pergi…’
Aku tak menyangka ini awal yang memelekkanku,sekaligus akhir kebutaanku,
Orang bilang cinta itu buta.
Dan aku
…telah buta karenanya..
Dan kebutaanku sangat fatal. Tak ada yang menuntunku atau ada alat bantu yang membantuku berjalan. Aku telah jatuh dan sangat sakit. Dan terluka parah.
Kebutaanku permanen. Kemelek anku telah kau ambil saat kau mengirimkan pesan terkutuk itu. Meski mata fisikku masih bisa mengawasi racikan barrista meramu kopi kesayangan kita,namun mata dalam hatiku menjadi buta sama sekali,karna rasa kopi itu telah berubah menjadi sangat aneh. Aku tak bisa membaui nikmatnya aroma panas kopi kecoklatan itu.
Sungguh aku tak suka mataku kali ini. Aku ingin buta bersamamu. Bukan buta seperti ini…
….kopi itu menjadi dingin,
….bukan meja no 1 dekat pintu
Malam itu sangat dingin,aku tak mau moccacino panas itu lagi…


Kafe in my hometown,2010

Aku.Kamu.


Memang bukan mauku untuk berjalan di jalurku tanpamu. Karna ku tau kau tau itu. Tapi jalan selalu ada ujungnya,meski ku lupa di mana pangkalnya.
Tapi aku harus mau,meski aku sungguh tak mau.
Karena  hidup adalah cair. Dan waktu terus mengalir. Cinta adalah sebuah air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Dia harus mengalir,atau mati.
Aku tak jago dalam merangkai kata pembukaan yang harus di akhiri dengan kata penutup yang berpadu padan dan membuat mu manggut-manggut. Justru kebisuan lah satu-satunya kejujuran yang ada. Di mana indra menjadi buta dan hanya rasa yang bicara.
Aku tau aku akan tersesat  di jalan itu. Aku akan kehilangan petunjuk ku. Dan aku akan dengan gusar mencari bintang selatan,mercusuar atau kompas yang akan menjadi petunjukku. Tapi ini adalah pilihan. Kau bilang pahit adalah pilihan bukan?
Kembali ku lewati pagi kembali. Tapi tanpa kopi coklat pekat  dan selapis roti selai coklat.
Sepi.
Sunyi.
Mungkin ini adalah perpisahan paling sepi yang pernah aku dan kamu rasakan.
Tak ada gerakan apapun. Tak ada suara.
Bisu.
Bukankah kata tercipta untuk menipu?
Dan saat indra menjadi buta,kejujuran adalah sebuah kebisuan yangi punya ruang di hati untuk berani dan bersuara paling lantang.
Dan itulah kita.
Kau dan Aku.
Yang tak lagi jadi kita.
Hanya aku,
Hanya kamu.

( a little note for a friend who makes me blind but see what I cant saw for awhile)


Sidoarjo,2009

Jogjakarta,2009



 Aku mengenalmu satu tahun lalu di sebuah jalan,di perempatan Malioboro. Saat itu kau mengenakan sweater hitam kesukaanmu. Kau yang begitu menawan dengan tawa dan binar indahmu. Sempat ku cemburu pada siapa saja yang dekat padamu,meski ku tahu aku tak berhak memilikimu. Sebuah luka dalam buntalan ketegaran kau bungkus rapi di sana. Aku bahkan menahan pilu setiap kali bibir pucatmu menahan derita dalam dadamu. Andai kau tau,betapa ingin ku rasakan tiap inci kepedihan itu,agar kau bisa berbagi. Tapi kau tak mau.
Saat itu gerimis turun dengan ramainya. Beberapa orang berlari mencari pelataran toko untuk berteduh. Semakin lama bertambah lebat menjadi hujan. Pedagang kaki lima bergegas mengemasi dan menyelamatkan dagangannya. Namun kau,dengan ketenanganmu,mengembangkan payung hitammu,dan memeluk bahuku erat. Kita berpayungan dalam derasnya hujan yang menjadikannya sebuah harmoni. Wajahmu yang pasi tersenyum padaku.
Bukan karna dingin yang menggigit. Tapi aku tau pasti karna sesak dalam dadamu yang kau tahan… Kau yang tegar dan kuat. Aku sungguh terpikat. Sungguh aku tak pernah mneyesali setiap tetesan air yang menerpa rambut dan kemejaku, dan celanaku,aku terlalu hangat dalam kelekatan ini.
Tepat satu tahun sudah. Aku kembali berjalan di jalan tempat kita berdua melangkah dalam lebatnya hujan malam. Sempat aku terhanyut dalam keharuan yang membuat hatiku biru. Sebuah biru yang lebam. Aku selalu merasa kau ada di sini. Dan senyum indahmu menyapaku,dengan pijar matamu yang menyamai bintang selatan. Aku tau,sebuah kerinduan ini tak akan pernah terjawab dan tak akan pernah aku tanyakan,dan selamanya hanya akan jadi sebuah hal yang menjadi keliman. Sebuah rindu yang tak pernah menjadi sebuah hal yang rapi dan indah.
Aku selalu menyimpan setiap keping kenangan yang telah menjadi serpihan,meski orang bilang serpihan tak berguna dan akan jadi barang buangan,tapi untukku,serpihan adalah robekan-robekan indah yang seharusnya di simpan dan di kumpulkan untuk menjadi keindahan meski tidak sesempurna asalnya.


Hujan kali ini sangat deras. Tapi aku menikmatinya. Bukankah karna hujan kita bertemu…??

(untuk seorang Tere,yang selalu tau cara bertahan dalam kepedihan sakitnya..)


                                                                                                   Jogja,2009

Cokelat



Café itu memiliki dinding dengan warna unik. Tidak krem,tidak kuning,cenderung coklat mungkin. Tapi coklat yang bagaimana aku tak tau. Coklat bercampur merah atau ungu?
Matamu memandang ke sana dan kemari. Mencoba mencari sesuatu yang hilang. Entahlah. Apa yang hilang? Dari semua keberadaanmu kau selalu sibuk mencari hal yang tiada. Kau meraih gelas berisi wine dan menegaknya hingga tandas. Dan lagi-lagi bola matamu mencari-cari sesuatu di antara berpuluh manusia dengan model dan warna baju yang cenderung pucat. Entah aku tak jelas melihat ke arah mana kau berputar. Aku mencoba mengikuti langkah-langkahmu. Kau berhenti,lalu berputar padaku. Menatapku, ‘aku tau mengapa café ini berwarna seperti ini’ ujarmu.
 Tepat di bawah bola lampu yang menyala terang,dan begitu jelas ku lihat pendar bola matamu yang coklat muda. ‘kau tahu mengapa?’ aku menggeleng,bukan karna aku memang tak tau,tapi aku memang tak tertarik dengan menu pembicaraan ini. Apa menariknya membahas warna dinding café yang bagiku sangat tidak berkarakter dan ga jelas warnanya? ‘ karena pemiliknya suka coklat. Kau lihat? Dari meja,kursi,buku menu,gelas,cangkir,dan dekorasi panggung itu..bahkan taplaknya. Semua bernuansa coklat. Yah..coklat!’ ujarmu dengan berbinar. Dan bersemangat. Coklat? Seperti terhipnotis aku menatap meja,kursi dan property lainnya yang di sebutkanmu tadi dengan seksama. Meja berwarna hitam,tapi tidak hitam pekat. Ada semburan coklat di sana. Kursi,gelas,mug yang putih tapi ada garis coklatnya..lantai panggung dengan kayu yang berwarna coklat tua.. ya,dan aku sangat kagum,bahwa café ini punya cita rasa yang unik. Coklat di semua pojok ruangnya.
 Aku menatapmu. Menatap dua bola matamu yang berpijar.
Aku selalu kagum. Padamu. Kau selalu bisa mengendus sesuatu yang tak bisa ku bau. Kau bisa merasakan sesuatu yang tak bisa ku raba..dan itulah mengapa aku suka sekali warna coklat..karna terdapat dalam dua bola matamu yang selalu bisa berkata-kata tanpa berucap sepatah abjadpun..


Coklat yang ku cintai bahkan tak mampu ku lihat dengan mata telanjangku.
Meski coklat yang ku puja adalah absurd,tapi aku sangat tergila-gila,meski aku tak tau,seperti apa rasa coklat itu..

(Café in My home Town,2010)

Dialogue (4)

pinus: kenapa kau menangis nightingale? Bukankah musim panas tlah berlalu? Kau suka sekali dengan musim semi..daun-daun segar membuatmu ceria..tapi kenapa kau bersedih?
Nightingale: aku harus melepaskannya pinus..
Pinus: siapa???
Nightingale: burung mungil jiwaku,burung gereja..
Pinus: ohhh..kau mencintai burung yang bukan sejenismu?
Nightingale: apakah aku salah kalau aku memutuskan memilihnya? Aku sudah mencoba menjadi sepertinya. Aku hinggap di dahan-dahan rendah,aku sudah belajar untuk menyukai musim panas..tapi dia tidak memilihku..
Pinus: nightingale malang...kenapa kau harus menangisi apa yang bukan milikmu? kalo kau mencintainya,kau akan bahagia bila dia bahagia,tak peduli seberapa besar pengorbananmu,kau tak akan pernah berhitung dan mengeja..kalau dia memang tak mencintaimu meski kau berubah semungil dan sepersis dia pun dia tak akan jatuh cinta padamu. Dan meski kau burung nightingale yang suka beterbangan di musim semi dan bersembunyi saat musim panas,tentu dia akan menungguimu selama musim berganti untuk hanya sekedar melihatmu saja...jangan menangis nightingale..jangan bersedih atas apa yang tak akan pernah kau miliki..
Nightingale: (sambil terbang dia masih terisak menahan sesak yang membara di dadanya)
Pinus: cinta memang selalu beriringan dg duka..tak akan pernah memiliki tanpa kehilangan..dan tak akan pernah kehilangan tanpa memiliki....

~nightingale : burung bul-bul di eropa yang sangat suka muncul saat musim semi (autumn)


....kenapa harus merasa sakit bila memang kau tau kau akan sakit?....